Oleh: Dr. Hayu Prabowo

Ketua Lembaga Pemuliaan LH & SDA, MUI

 

Kata "musibah" dalam pendengaran kita sering ditafsirkan sebagai sesuatu yang mengerikan, menakutkan, dan mendatangkan ketidakbahagiaan dalam kehidupan. Tidak dapat dipungkiri bahwa setiap manusia yang beriman ingin mencapai kebahagiaan hidup baik di dunia maupun di akhirat. Akan tetapi, di dalam kehidupan sehari-hari banyak orang tidak berhasil mencapai kebahagiaan tersebut.

Dalam kondisi ditimpa musibah, kita perlu memahami atau memikirkan makna dari kehendak (masyi'ah), ketetapan (qadha’) dan takdir (qadr) Allah. Salah satu yang dapat menenangkan jiwa seorang mukmin terletak pada pemahamannya mengenai ketiga hal tersebut. Kehendak, ketetapan dan takdir, merupakan usaha, tindakan dan upaya dalam memperoleh jawaban terhadap berbagai sebab, kenapa sesuatu itu terjadi.

Di dalam al-Qur’an dijelaskan terjadinya musibah atau bencana alam di antaranya adalah akibat dari perbuatan manusia yang melakukan kemaksiatan. Allah SWT berfirman:

ظَهَرَ الْفَسَادُ فِي الْبَرِّ وَالْبَحْرِ بِمَا كَسَبَتْ أَيْدِي النَّاسِ لِيُذِيقَهُمْ بَعْضَ الَّذِي عَمِلُوا لَعَلَّهُمْ يَرْجِعُونَ

Telah tampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan manusia, Allah menghendaki agar mereka merasakan sebagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar). (QS. Ar-Rum[30]:41)

 

Krisis Iklim dan Lingkungan Hidup

Saat ini dunia menghadapi berbagai krisis perubahan iklim, polusi, lenyapnya keanekaragaman hayati dan penyakit zoonosis yang belum pernah terjadi sebelumnya, dan lainnya. Aktivitas manusia yang tidak berkelanjutan terus merusak area yang luas di planet ini dan jika dibiarkan, dapat mengakibatkan keruntuhan ekosistem yang meluas dan hilangnya keanekaragaman hayati lebih lanjut.

Gambar-1 memperlihatkan riwayat Bencana Hidrometeorologi berdasarkan data Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) dan Produk Domestik Bruto (PDB) Indonesia per tahunnya. Bencana hidrometeorologi adalah bencana yang terkait air akibat perubahan iklim  karena kerusakan lingkungan yang semakin masif. Bencana ini berdampak langsung berupa kerusakan bangunan, tanaman dan infrastruktur dan hilangnya nyawa dan harta benda, maupun dampak tidak langsung berupa kerugian dalam produktivitas dan mata pencaharian, utang dan dampak kesehatan manusia.

Kesalahan mengelola hubungan antar manusia (ekonomi)  dan hubungan antara manusia dan alam (ekosistem) menimbulkan berbagai krisis. Dengan demikian krisis ini ada dua macam, pertama krisis pada manusia dan krisis pada alam.

PDB menggambarkan pertumbuhan produksi/konsumsi dari suatu negara, PDB positif berarti ada kenaikan ekonomi karena kenaikan produksi/konsumsi. Kita bisa lihat ketika PDB positif hingga 2020, jumlah bencana alam secara selaras juga meningkat. Bila dilihat lebih dalam lagi, lebih dari 95% bencana alam adalah karena kerusakan lingkungan berupa banjir, longsor, badai, kekeringan dan kebakaran hutan dan lahan. Porsi gempa bumi dan tsunami sangat kecil. Bencana alam akibat kerusakan alam ini tentu diakibatkan aktivitas manusia yang memprioritaskan peningkatan ekonomi yang ekstraktif terhadap bumi serta produk buangan yang menyebabkan polusi.

Saat terjadinya pandemi Covid-19 telah mengakibatkan penyusutan pertumbuhan ekonomi sebesar minus 2% akaibat penurunan konsumsi dan produksi pada tahun 2020, telah berdampak positif pada penurunan bencana alam. Tahun 2020 telah mengingatkan kita semua atas pentingnya menjaga bumi dengan menjaga konsumsi kita. Dalam konsep pembangunan berkelanjutan, kesejahteraan diukur tidak hanya dari ekonomi, namun juga sosial dan lingkungan hidup. Atau dengan kata lain, salah satu faktor yang harus dihadapi untuk mencapai pembangunan berkelanjutan adalah bagaimana memperbaiki kehancuran lingkungan (menurunkan bencana alam) tanpa mengorbankan kebutuhan pembangunan ekonomi dan keadilan sosial.

Masyarakat dan ekonomi bergantung pada berfungsinya jasa pelayanan ekosistem. Interaksi antara manusia dan lingkungan sangat vital, karena jasa ekosistem yang berfungsi merupakan sumber daya yang penting bagi masyarakat. Ekonomi adalah subsistem dari masyarakat manusia, yang juga merupakan subsistem dari kehidupan di bumi dan ekosistemnya. Kesalahan mengelola ekonomi  dan ekosistem menimbulkan berbagai krisis, khususnya pada krisis alam dan manusia.

Krisis iklim dan lingkungan hidup merupakan ancaman eksistensial terbesar bagi umat manusia dan akan memperburuk tantangan kemiskinan, ketahanan pangan, persediaan air, ketahanan bencana alam dan perdamaian, yang sangat menghambat pembangunan manusia.  Pemimpin dunia menempatkan krisis iklim dan lingkungan hidup sebagai ancaman nomor satu yang dihadapi keamanan manusia, selain faktor ekonomi, geopolitik, teknologi atau sosial lainnya, karena krisis iklim dan lingkungan hidup memperparah ancaman secara keseluruhan.

Bencana alam itu bertujuan supaya manusia bisa merasakan akibat yang mereka perbuat agar segera bertaubat kepada Allah SWT. Dalam ayat yang lain, Allah SWT berfirman:

وَمَا أَصَابَكُم مِن مُصِيبَة فَبِمَا كَسَبَت أَيْدِيكُم وَيَعْفُو عَن كَثِيرٍ

Dan musibah apapun yang menimpa kamu adalah karena perbuatan tanganmu sendiri, dan Allah memaafkan banyak (dari kesalahan-kesalahanmu). (QS. Ash-Shuraa[42]:30)

Datangnya musibah yang menimpa kaum muslimin yang tidak melakukan perbuatan dosa merupakan bentuk ujian untuk mengangkat derajat mereka di akhirat. Oleh karenanya, mari kita ubah gaya hidup untuk ramah terhadap bumi – atau bumi yang akan memaksa kita berubah dan menghancurkan kembali apa yang telah kita bangun.

 

I.          Cara Pandang Manusia Terhadap bencana Alam

Kalau kita mentadabburi ayat-ayat Al-Qura’an terkait bencana alam yang menimpa berbagai umat sebelum kita, sejak zaman nabi Nuh, Ibrahim, Luth, Syu’aib, Sholeh, Musa dan sebagainya, kita akan menemukan dua cara pandang manusia terhadap peristiwa-peristiwa yang terjadi di atas bumi ini.

Pertama, cara pandang orang-orang yang sombong pada Allah dan tidak mengenal Tuhan Pencipta alam yang sebenarnya. Cara pandang orang-orang sekular yang tidak mampu melihat kaitan antara Tuhan dengan hamba, antara agama dengan kehidupan dan antara dunia dan akhirat.

Manusia semacam ini adalah manusia yang tidak pernah mau dan tidak mampu menjadikan berbagai peristiwa alam tersebut sebagai pelajaran dan sebagai bukti kekuasaan dan kebesaran Allah. Mereka bukannya mengoreksi diri dan kembali kepada Allah, melainkan semakin bertambah kesombongan dan pembangkangan mereka pada Allah dan Rasul-Nya. Hal seperti ini dijelaskan Allah dalam Al-Qur’an:

أَوَلَمْ يَسِيرُوا فِي الْأَرْضِ فَيَنْظُرُوا كَيْفَ كَانَ عَاقِبَةُ الَّذِينَ كَانُوا مِنْ قَبْلِهِمْ كَانُوا هُمْ أَشَدَّ مِنْهُمْ قُوَّةً وَآَثَارًا فِي الْأَرْضِ فَأَخَذَهُمُ اللَّهُ بِذُنُوبِهِمْ وَمَا كَانَ لَهُمْ مِنَ اللَّهِ مِنْ وَاقٍ

Dan apakah mereka tidak mengadakan perjalanan di muka bumi, lalu memperhatikan betapa kesudahan orang-orang yang sebelum mereka. Mereka itu adalah lebih hebat kekuatannya daripada mereka dan (lebih banyak) bekas-bekas mereka di muka bumi maka Allah mengazab mereka disebabkan dosa-dosa mereka. Dan mereka tidak mempunyai seorang pelindung dari azab Allah. (QS. Ghafir[40]:21)

Kedua, cara pandang orang-orang beriman kepada Allah dan para Rasulnya. Apa saja peristiwa alam yang terjadi mereka kembalikan semuanya kepada kehendak dan kekusaan Allah, mereka hadapi dengan hati yang penuh iman, tawakakal, sabar dan tabah serta mereka lihat sebagai sebuah ujian dan musibah untuk menguji kualitas keimanan dan kesabaran mereka, atau bisa jiag sebagai teguran Allah atas kelalaian dan dosa yang mereka lakukan.

Selain itu, semua peristiwa yang menimpa manusia mereka jadikan sebagai momentum terbaik untuk mengoreksi diri (taubat) agar lebih dekat kepada Allah dan sistem Allah dan Rasul-Nya. Pada saat yang sama merekapun meninggalkan larangan-larangan Allah dan Rasul-Nya.

Mereka adalah orang-orang yang sukses dalam berinteraksi dengan alam dan dalam menghadapi berbagai ujian dan cobaan semasa hidup di dunia dan juga di akhirat kelak. Allah menjelasakannya dalam Al-Qur’an surat Al-Baqoroh ayat 155 – 157 :

وَلَنَبْلُوَنَّكُمْ بِشَيْءٍ مِنَ الْخَوْفِ وَالْجُوعِ وَنَقْصٍ مِنَ الْأَمْوَالِ وَالْأَنْفُسِ وَالثَّمَرَاتِ وَبَشِّرِ الصَّابِرِينَ (155) الَّذِينَ إِذَا أَصَابَتْهُمْ مُصِيبَةٌ قَالُوا إِنَّا لِلَّهِ وَإِنَّا إِلَيْهِ رَاجِعُونَ (156) أُولَئِكَ عَلَيْهِمْ صَلَوَاتٌ مِنْ رَبِّهِمْ وَرَحْمَةٌ وَأُولَئِكَ هُمُ الْمُهْتَدُونَ (157)

Dan sungguh akan Kami berikan cobaan kepadamu, dengan sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa dan buah-buahan. Dan berikanlah berita gembira kepada orang-orang yang sabar.(155) (yaitu) orang-orang yang apabila ditimpa musibah, mereka mengucapkan: " Inna lillahi wa inna ilaihi raji'un (sesungguhnya kami adalah milik Allah dan kepada-Nya kami kembali) (156) Mereka itulah yang mendapat keberkatan yang sempurna dan rahmat dari Tuhan mereka dan mereka itulah orang-orang yang mendapat petunjuk. (157) (QS. Al-Baqoroh [2]:155-157)

 

II.          Penyebab Terjadinya Musibah

Al-Qur’an dengan tegas menjelaskan bahwa sebab utama terjadinya semua peristiwa di atas bumi ini, apakah gempa bumi, banjir, kekeringan, tsunami, penyakit tha’un (wabah) dan sebagainya disebabkan ulah manusia itu sendiri, baik yang terkait dengan pelanggaran sistem Allah yang ada di laut dan di darat, maupun yang terkait dengan sistem nilai dan keimanan yang telah Allah tetapkan bagi hambanya.

Semua pelanggaran tersebut (pelanggaran sunnatullah di alam semesta dan pelanggaran syariat Allah yang diturunkan kepada para Nabi dan Rasul-Nya, termasuk Nabi Muhammad Saw), akan mengakibatkan kemurkaan Allah. Kemurkaan Allah tersebut direalisasikan dengan berbagai peristiwa bencana alam seperti, banjir, kekeringan, gempa bumi, tsunami dan seterusnya.

Semakin besar pelanggaran manusia atas sistem dan syariat Allah, semakin besar pula peristiwa alam yang Allah timpakan pada mereka. Allah menjelaskan dalam Al-Qur’an :

فَكُلًّا أَخَذْنَا بِذَنْبِهِ فَمِنْهُمْ مَنْ أَرْسَلْنَا عَلَيْهِ حَاصِبًا وَمِنْهُمْ مَنْ أَخَذَتْهُ الصَّيْحَةُ وَمِنْهُمْ مَنْ خَسَفْنَا بِهِ الْأَرْضَ وَمِنْهُمْ مَنْ أَغْرَقْنَا وَمَا كَانَ اللَّهُ لِيَظْلِمَهُمْ وَلَكِنْ كَانُوا أَنْفُسَهُمْ يَظْلِمُونَ

Maka masing-masing (mereka itu) Kami siksa disebabkan dosanya, maka di antara mereka ada yang Kami timpakan kepadanya hujan batu kerikil dan di antara mereka ada yang ditimpa suara keras yang mengguntur, dan di antara mereka ada yang Kami benamkan ke dalam bumi, dan di antara mereka ada yang Kami tenggelamkan, dan Allah sekali-kali tidak hendak menganiaya mereka, akan tetapi merekalah yang menganiaya diri mereka sendiri. (QS. Al-Ankabut [29]:40)

 

III.       SIKAP MENGHADAPI MUSIBAH

Sebagai seorang muslim apabila mendengar atau mengalami musibah hendaknya mengucapkan "Inna lillahi wa inna ilaihi raji'un, sesungguhnya kami adalah milik Allah dan kepada-Nya kami kembali". Sikap positif yang harus dikembangkan ketika menghadapi musibah antara lain; sabar, tawakkal, ikhlas, taubat, optimis, waspada, kritis, berprasangka baik, bersyukur, dan berdoa.

 

1. Sabar

Musibah yang ada semuanya datang dari Allah dan merupakan ujian hidup bagi kita. Berbagai cobaan yang ditimpakan Allah ini, merupakan cara Allah menguji kita manusia apakah kita sabar menghadapi musibah tersebut atau tidak. Allah berfirman pada surat Al-Baqarah [2]:155 - 157 yang telah disebut diatas.

 Sabar artinya tahan menderita. Sedangkan sabar dalam al-Qur'an mencakup pengertian kokoh pendirian, gigih, ulet, tahan menderita tanpa gelisah, tanpa keluh kesah. Dengan demikian, sabar dapat menjauhkan kita dari perasaan cemas, gelisah dan frustrasi. Bahkan, sabar akan membawa kita kepada ketenteraman batin. Dengan bersabar, kita dapat mendidik jiwa dan memperkuat pribadi, serta menambah kemampuan untuk memikul kesulitan, menghadapi problematika hidup, dan menerima musibah. Sabar juga dapat membangkitkan kemampuan untuk melanjutkan kehidupan, sebagaimana firman Allah SWT:

يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوا۟ ٱصْبِرُوا۟ وَصَابِرُوا۟ وَرَابِطُوا۟ وَٱتَّقُوا۟ ٱللَّهَ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ

Hai orang-orang yang beriman, bersabarlah kamu dan kuatkanlah kesabaranmu dan tetaplah bersiap siaga (di perbatasan negerimu) dan bertakwalah kepada Allah, supaya kamu beruntung. (QS. Ali Imran [3]:200)

Sabar mengajarkan kita untuk terbiasa bekerja dan mengerahkan tenaga untuk mencapai tujuan hidup. Jadi, sabar bukan berarti pasrah pada nasib dan pasrah menerima musibah. Tetapi, kita harus berupaya dengan giat dan terus menerus agar nasib itu berubah dan kita dapat keluar dari musibah. Inilah hakikat sabar.

 

2. Tawakal

Tawakal artinya berserah diri kepada Allah SWT. Sikap tawakal mengandung makna penerimaan sepenuhnya terhadap kenyataan diri dan basil usahanya sebagaimana adanya. Atau dengan perkataan lain, mau dan mampu menyesuaikan diri dengan dirinya sendiri. Kalau kita tidak mau dan tidak mampu menerima dirinya (keadaannya sebagaimana adanya), maka kita akan merasa tertekan, gelisah, cemas, dan takut, bahkan lebih dari itu. Dengan kata lain, kalau kita tawakal maka rasa tertekan, gelisah, cemas dan takut akan hilang dari diri kita.

Tawakal juga berarti mempercayakan diri kepada Allah. Dengan demikian, tawakal merupakan bukti bahwa kita beriman. Tawakal dan iman berhubungan erat. Tawakal adalah tindak lanjut dari iman, sedangkan iman tidak akan ada tanpa tawakal.

Tawakal bukanlah sikap pasif, pasrah tanpa usaha dan melarikan diri dari kenyataan. Tawakal adalah sikap aktif yang tumbuh hanya dari pribadi yang memahami hidup dengan tepat, serta menerima kenyataan hidup dengan tepat pula. Dalam al-Qur'an terdapat beberapa seruan kepada manusia untuk bertawakal, antara lain:

a.         Tawakal dikaitkan dengan sikap percaya (iman)

وَعَلَى ٱللَّهِ فَتَوَكَّلُوٓا۟ إِن كُنتُم مُّؤْمِنِينَ...

Dan hanya kepada Allah hendaknya kamu bertawakkal, jika kamu benar-benar orang yang beriman (Q.S. Al-Maidah [5]:23).

b.        Tawakal kepada Allah setiap kali kita mengambil keputusan penting. Fungsi tawakal di sini adalah agar kita memiliki keteguhan hati dalam menetapkan dan melaksanakan keputusan Allah tersebut. Firman Allah:

فَإِذَا عَزَمْتَ فَتَوَكَّلْ عَلَى ٱللَّهِ إِنَّ ٱللَّهَ يُحِبُّ ٱلْمُتَوَكِّلِينَ...

…Kemudian apabila kamu telah membulatkan tekad, maka bertawakkallah kepada Allah. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertawakkal kepada-Nya. (QS. Ali Imran [3]: 159)

c.         Tawakal kepada Allah merupakan kemantapan keyakinan bahwa segala sesuatu kembali kepada-Nya, dan kita harus menyembah Dia Yang Maha Esa saja.

وَلِلَّهِ غَيْبُ ٱلسَّمَٰوَٰتِ وَٱلْأَرْضِ وَإِلَيْهِ يُرْجَعُ ٱلْأَمْرُ كُلُّهُۥ فَٱعْبُدْهُ وَتَوَكَّلْ عَلَيْهِ وَمَا رَبُّكَ بِغَٰفِلٍ عَمَّا تَعْمَلُونَ

 

Dan kepunyaan Allah-lah apa yang ghaib di langit dan di bumi dan kepada-Nya-lah dikembalikan urusan-urusan semuanya, maka sembahlah Dia, dan bertawakkallah kepada-Nya. Dan sekali-kali Tuhanmu tidak lalai dari apa yang kamu kerjakan. (QS. Hud [11]: 123)

d.        Tawakal diperlukan untuk meneguhkan hati apabila kita yakin dengan tulus dan ikhlas bahwa kita berada dalam kebenaran Allah berfirman:

فَتَوَكَّلْ عَلَى ٱللَّهِ إِنَّكَ عَلَى ٱلْحَقِّ ٱلْمُبِينِ

Sebab itu bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya kamu berada di atas kebenaran yang nyata. (QS. An-Naml [27]:79)

 

3. Ikhlas

Apakah ikhlas itu? Ikhlas adalah suci murni, tidak tercampur. Maksudnya, ikhlas adalah mengerjakan ibadah dan kebajikan hanya karena Allah, dan semata mengharapkan keridlaan Allah. Bukan mengharapkan harta, pujian, pangkat, gelar, kemakmuran dan sebagainya. Ikhlas juga bukan sekedar mengerjakan sesuatu tanpa pamrih, tanpa mengharapkan sesuatu, tetapi menerima apa saja dari Tuhan tanpa persoalan, juga dinamakan ikhlas. Misalnya kita sekarang ini. Apabila kita mampu menerima musibah yang menimpa kita ini tanpa keluh kesah, tanpa menyalahkan siapa-siapa, apalagi menyalahkan Tuhan, maka kita sudah menjadi orang yang ikhlas.

Ikhlas atau tidaknya seseorang ditentukan oleh niatnya. Ikhlas seseorang tidak bisa diketahui oleh orang lain. Hanya orang yang bersangkutan dengan Tuhannyalah yang mengetahui. Bahkan malaikat sendiri pun juga tidak mengetahui. Dalam sebuah hadis qudsi disebutkan bahwa ikhlas itu adalah rahasia antara Tuhan dengan hambanya yang saleh, yang artinya sebagai berikut: "Ikhlas itu adalah salah satu rahasia-Ku yang Aku titipkan di (dalam hati hamba-Ku yang Aku cintai. Setan tidak mengetahuinya agar dia tidak bisa merusaknya, dan bahkan malaikat pun tidak mengetahui agar mereka tidak bisa mencatatkannya."

Karena ikhlas adalah rahasia kita dengan Tuhan, maka untuk bisa menjadi ikhlas kita memerlukan latihan yang terus- menerus. Ayat-ayat berkaitan dengan ikhlas antara lain:

وَمَآ أُمِرُوٓا۟ إِلَّا لِيَعْبُدُوا۟ ٱللَّهَ مُخْلِصِينَ لَهُ ٱلدِّينَ حُنَفَآءَ وَيُقِيمُوا۟ ٱلصَّلَوٰةَ وَيُؤْتُوا۟ ٱلزَّكَوٰةَ وَذَٰلِكَ دِينُ ٱلْقَيِّمَةِ

Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya dalam (menjalankan) agama yang lurus, dan supaya mereka mendirikan shalat dan menunaikan zakat; dan yang demikian itulah agama yang lurus. (QS. Al-Bayyinah [98]: 5)

 

4. Taubat

Setiap manusia tidak terlepas dari kesalahan. Akan tetapi, kesalahan tidak boleh dibiarkan berlarut-larut sehingga menjadi dosa. Perasaan berdosa membuat kita menjadi gelisah dan tidak tenang. Untuk dapat hidup tenang, perasaan berdosa harus dihilangkan dari diri kita. Untuk menghilangkan rasa berdosa itu kita harus setiap saat minta ampun kepada Allah. Nabi Muhammad saw sendiri tidak kurang dari 75 kali dalam sehari meminta ampun kepada Allah, Padahal, beliau orang yang terpelihara dari perbuatan dosa (ma'shum). Apalagi kita manusia biasa, sewajarnyalah kita setiap saat memohon ampun kepada Allah. Memohon ampunan harus dilakukan sesegera mungkin, yaitu disaat kita menyadari bahwa kita telah berbuat salah. Allah menyuruh kita agar segera memohon ampun sebagaimana firman-Nya:

وَسَارِعُوٓا۟ إِلَىٰ مَغْفِرَةٍ مِّن رَّبِّكُمْ وَجَنَّةٍ عَرْضُهَا ٱلسَّمَٰوَٰتُ وَٱلْأَرْضُ أُعِدَّتْ لِلْمُتَّقِينَ

Dan bersegeralah kamu kepada ampunan dari Tuhanmu dan kepada surga yang luasnya seluas langit dan bumi yang disediakan untuk orang-orang yang bertakwa. (QS. Ali Imran [3]: 133).

Minta ampun seperti ini disebut taubat. Secara lebih rinci taubat adalah mengetahui kesalahan segera insyaf dan menyadarinya. Dia menyesal lalu meminta ampun atas kesalahannya itu, serta berjanji pada diri sendiri untuk tidak akan mengulangi lagi kesalahan tersebut. Dengan begitu, kita menjadi sadar agar tidak dua kali jatuh ke dalam lobang yang sama. Taubat seperti ini disebut taubat nasuha. Orang yang melakukan taubat nasuha, Allah akan menerima taubatnya dan akan mengampuni dosa-dosanya, karena Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. Firman Allah:

وَٱلَّذِينَ إِذَا فَعَلُوا۟ فَٰحِشَةً أَوْ ظَلَمُوٓا۟ أَنفُسَهُمْ ذَكَرُوا۟ ٱللَّهَ فَٱسْتَغْفَرُوا۟ لِذُنُوبِهِمْ وَمَن يَغْفِرُ ٱلذُّنُوبَ إِلَّا ٱللَّهُ وَلَمْ يُصِرُّوا۟ عَلَىٰ مَا فَعَلُوا۟ وَهُمْ يَعْلَمُونَ

Dan (juga) orang-orang yang apabila mengerjakan perbuatan keji atau menganiaya diri sendiri, mereka ingat akan Allah, lalu memohon ampun terhadap dosa-dosa mereka dan siapa lagi yang dapat mengampuni dosa selain dari pada Allah? Dan mereka tidak meneruskan perbuatan kejinya itu, sedang mereka mengetahui. Mereka itu balasannya ialah ampunan dari Tuhan mereka dan surga yang di dalamnya mengalir sungai-sungai, sedang mereka kekal di dalamnya; dan itulah sebaik-baik pahala orang-orang yang beramal. (Q.S. Ali Imran [3]: 135 - 136).

Perlu kita pahami bahwa tidak semua dosa akan diampuni oleh Allah. Dosa orang berbuat syirik tidak akan diampuni oleh Allah. Oleh karena itu, kita tidak boleh mempermainkan taubat. Firman Allah:

إِنَّ ٱللَّهَ لَا يَغْفِرُ أَن يُشْرَكَ بِهِۦ وَيَغْفِرُ مَا دُونَ ذَٰلِكَ لِمَن يَشَآءُ وَمَن يُشْرِكْ بِٱللَّهِ فَقَدِ ٱفْتَرَىٰٓ إِثْمًا عَظِيمًا

Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni dosa syirik, dan Dia mengampuni segala dosa yang selain dari (syirik) itu, bagi siapa yang dikehendaki-Nya. Barangsiapa yang mempersekutukan Allah, maka sungguh ia telah berbuat dosa yang besar. (QS. An-Nisa [4]:48).

Keyakinan kita bahwa Allah Yang Maha agung akan menerima taubat dan menghapus dosa-dosa kita; dan Allah SWT tidak akan menyalahi janji-Nya. Dia akan mendorong kita untuk beristighfar dan bertaubat, serta menjauhkan kita dari berbuat maksiat dengan penuh ampunan Allah dan keridhaan-Nya. Apabila kita bertaubat dengan taubat nasuha, dan mewajibkan diri kita untuk taat kepada Allah, beribadah kepada-Nya, dan beramal saleh, insya Allah hati kita akan damai, jiwa akan tentram, dan hilang perasaan berdosa yang menyebabkan kegelisahan dan kekacauan pikiran.

 

5. Optimis

Allah memberikan cobaan pada hamba-Nya sebagai bentuk ujian. Bagi hamba Allah yang tabah, sabar, dan tawakal, baginya akan diberikan pahala yang setimpal. Dengan cara demikian inilah, Allah akan menguji hamba-Nya.

Manusia harus mampu menghadapi berbagai macam cobaan dan musibah. Di antara cobaan dan musibah inilah, Allah akan memberikan rahmat. Karenanya, umat Islam tidak boleh putus asa terhadap rahmat Allah. Sebab, Allah Maha Pemberi Rahmat bagi seluruh hamba-Nya. Umat Islam harus selalu merasa optimis. Yakin bahwa pertolongan Allah akan hadir untuk membangkitkan semangat dan daya tahan terhadap segala macam tekanan kehidupan. Gairah dan gelora untuk melakukan hal-hal yang diperintahkan Allah kepada kita, mendorong kita untuk terus mampu memperbaiki diri dan menyongsong hari esok yang lebih baik.

Untuk itulah, kita harus mengembangkan prasangka baik kepada Allah. Musibah, cobaan atau bencana, itu semua merupakan sarana intropeksi guna mendekatkan diri kepada Semua ujian dan cobaan itu diperuntukkan bagi orang-orang yang bertakwa. Sedangkan Allah Maha luas atas rahmat dan berkah-Nya.

 

6. Waspada dan Kritis

Apa yang bisa kita petik dari musibah yang sedang kita hadapi? Pertama, kita harus selalu mengingat Allah dengan segala ketentuan yang ada di tangan-Nya. Kedua, sebagai manusia yang berakal sehat dan berbudi pekerti luhur, kita harus pandai mengambil hikmah dari setiap musibah seraya berisikap kritis terhadap musibah itu. Ketiga, kita harus melakukan antisipasi terhadap berbagai kemungkinan buruk yang akan menimpa kita.

Sikap kritis dan tanggap juga harus dikembangkan. Sebagai manusia yang diberi akal dan pikiran sehat, kita tidak boleh diam atau lalai melihat keadaan di sekeliling kita yang selalu berubah. Inisiatif yang kreatif dan inovatif dalam menghadapi berbagai situasi yang berubah cepat, perlu terus dilakukan, sehingga tidak berlaku pasif dan menunggu.

Setelah disadari terjadi berbagai peristiwa yang sedang menimpa kita, maka secara cepat harus melakukan tindakan nyata. Sikap tegar menghadapi berbagai persoalan, kemudian diikuti dengan mengembangkan sikap kritis dan tanggap guna menghadapi persoalan (bencana, musibah atau cobaan) yang sedang terjadi.

 

7. Berprasangka Baik

Apa yang terjadi pada kita, semua sudah merupakan ketetapan Allah. Karenanya, kesabaran merupakan kunci utama. Kita tidak boleh buruk sangka (su'udhon) kepada Allah atas apa yang telah menimpa kita, tetapi sebaliknya harus mengembangkan prasangka baik (Khusnu-dhan) kepada-Nya. Sesungguhnya, setelah (timbul) kesulitan akan segera datang kemudahan.

Waspada merupakan keharusan, tetapi rasa was-was itu adalah penyakit dan bisikan syaitan. Kaum muslimin harus senantiasa berlindung diri kepada Allah dari rasa was-was dan ketakutan. Bila hati kita was-was, maka akan muncul berbagai ketakutan yang belum tentu ada, bahkan jantung akan berdegup keras. Itulah sisi negatif, bila kita terbawa pada rasa was-was. Jadi, membiarkan was-was dalam hati kita akan dapat menimbulkan fisik dan psikis sakit.

Rasa was-was bisa mengakibatkan takut dan malas untuk melakukan suatu kegiatan. Karenanya, Rasulullah saw telah memberikan tuntunan untuk selalu berdoa kepada Allah guna menghindari rasa malas dan keengganan untuk melakukan suatu aktivitas, dengan doanya yang berbunyi:

Ya Allah, sesungguhnya aku berlindung kepada-Mu dari sikap malas dan (rasa) lemas." (HR. Bukhari)

 

8. Bersyukur dan Doa

Atas apa yang ada pada kita, semua merupakan rahmat dan karunia Allah. Meski (mungkin saja) telah kehilangan harta benda atau sanak saudara ternyata Allah telah melindungi kita semua dari marabahaya. Kita masih diberi hidup, diberikan keleluasaan untuk melaksanakan tugas-tugas sebagai khalifah Allah di muka bumi. Semua itu harus disyukuri, dengan segala ketentuan balk yang diberikan kepada kita sekalian.

Seiring dengan itu, patutlah kiranya kita selalu memanjatkan doa kepada Allah untuk senantiasa memohon rahmat dan karunia-Nya. Allah sangat suka terhadap hamba-Nya yang senantiasa memohon doa dan karunia-Nya. Semoga dengan doa itu, Allah akan mengabulkan segala permintaan kita, melalui berbagai rahmat, berkah dan karunia-Nya.

 

IV.     PENUTUP

Semua bencana membuktikan bahwa, disatu sisi Allah itu Maha kuasa atas segala yang dikuasai-Nya, tetapi disisi lain Dia juga memperlihatkan maha kasih atas semua yang kasih-Nya dengan berbagai pertolongan dari saudara yang lain. Boleh jadi, bencana alam mengisyaratkan bahwa jika Allah sayang kepada seseorang hamba, hamba itu diberi-Nya cobaan. Begitu juga sebaliknya.

Cobaan Allah bermacam-macam, kadang-kadang dengan kesenangan dan kadangkala dengan kesusahan, penderitaan dan kepedihan. Bekal utama yang perlu dimiliki oleh manusia di manapun ia berada adalah keyakinan beragama yang kuat serta kebergantungan yang penuh kepada Allah. Dalam keadaan yang bagaimanapun, manusia membutuhkan agama dan bergantung kepada Allah. Dialah yang Maha Mendengar, Maha Melihat, Maha Mengetahui, dan Maha Penyayang. Allah rnendengar setiap keluhan, jeritan hati yang tidak terungkap karena lidahnya sudah menjadi beku. Kata-kata yang digunakan untuk memohon pertolongan kepada siapapun hanya Allah saja yang Maha Mendengar dan Maha Mengetahui. Semua yang terjadi, diketahui oleh Allah Yang Maha Mengetahui dan Maha Penyayang.

Seorang mukmin yang taat akan selalu diuji dengan bencana yang menjadi bukti, kesaksian atau penjelasan bagi orang lain atas kesabaran, kekuatan dan kebenaran keimanannya. Demikian juga para rasul, nabi dan orang-orang yang saleh, mereka juga termasuk golongan umat yang ditimpa berbagai musibah dan bencana. Hanya orang-orang yang beriman, sabar, ikhlas, syukur, dan tawakal yang mampu menyikapi musibah tersebut dengan ramah, tabah, dan istiqamah. Karena, di balik suatu musibah, pasti ada hikmahnya.


 

REFERENSI

 

Agus Muhammad, et. al. Membangun Ketahanan Masyarakat Menghadapi Bencana - Perspektif Islam tentang Pengurangan Risiko Bencana. LPBI Nahdlatul Ulama. 2011.

Avianto Muhtadi, et. al. Penanggulangan Bencana Berbasis Masyarakat dalam Perspektif Islam. LPBI Nahdlatul Ulama. 2011.

Hayu Prabowo. Masjid Berketahanan. Lembaga PLH & SDA MUI. 2020.

PP Muhammadiyah. Fikih Kebencanaan & Tuntunan Shalat. Berita Resmi Muhammdiyah No. 03/2015-2020/Rabiul Akhir 1439 H/Januari 2018 M

Wawan Susanto dan Fahmi Zaki. Bencana Nasional: Antara Azab, Ujian & Faktor Alam (?). Buletin Ma’had Aly Iqna’ At-Tholibin PP. Al-Anwar Sarang. Edisi Keempat – Jum’at, 25 Januari 2019 M.

Zakiah Darajat, et. al. Pedoman Bimbingan Keagamaan Bagi Korban Bencana Alam. Majelis Ulama Indonesia. 2005.

Share:
Admin Utama