Kebutuhan sapi nasional sejauh ini belum bisa terpenuhi dengan produksi sapi lokal. Berdasarkan data Kementerian Pertanian, kebutuhan daging sapi pada 2018 tercatat mencapai 662.541 ton. Daging sapi lokal sendiri baru memenuhi 60,8 persen kebutuhan dengan produksi sebanyak 403.349 ton. Tiga Badan Usaha Milik Negara (BUMN) akan mengimpor 50 ribu ton daging sapi dari Brasil hingga akhir tahun ini. Hal ini dilakukan untuk mencari sumber pasokan daging sapi yang baru.

Volume impor daging sapi Indonesia pada 2017 mencapai 115,8 ribu ton kemudian meningkat 38,8% menjadi 160,7 ribu ton. Sementara itu, nilai impor daging sapi pada 2017 mencapai US$ 466,8 juta lalu naik 28,7% pada 2018 menjadi US$ 600,8 juta.

Impor daging sapi Brasil tersebut dikembangkan dengan menebang pohon hutan Amazon untuk ditanam rumput sebagai makanan ternak. Kebakaran hutan hebat dan meluas di Amazon baru-baru ini dikarenakan penggundulan hutan yang terjadi saat musim kemarau untuk persiapan lahan menanam rumput. Menebang hutan tropis untuk peternakan berkontribusi pada pemanasan global dan kepunahan spesies langka.

Mengurangi konsumsi daging impor akan berkontribusi mengurangi emisi serta menyelamatkan hutan Amazon yang merupakan salah satu hutan tropis dunia yang mengatur temperatur bumi. Mengganti makan daging impor dengan sumber protein lokal akan mengurangi emisi sekaligus meningkatkan pemberdayaan masyarakat Indonesia dalam pengembangan peternakan dan pertanian organik. Apalagi daging sapi lokal lebih ramah lingkungan karena  memiliki emisi lebih kecil.

Rendahnya Konsumsi Protein Masyarakat

Data Food and Agriculture Organization (FAO) menyebutkan bahwa tingkat konsumsi protein hewani masyarakat Indonesia pada 2017 masih tertinggal dari negara-negara maju bahkan dengan beberapa negara ASEAN. Dari total konsumsi protein, konsumsi protein hewani Indonesia baru mencapai 8 persen, sementara Malaysia mencapai 30 persen, Thailand 24 persen, dan Filipina mencapai 21 persen. Padahal protein hewani merupakan sumber pangan yang sangat baik untuk masa pertumbuhan dan perkembangan anak-anak karena kandungan asam aminonya yang lengkap.

Dengan kondisi seperti ini jika tidak segera ditangani, maka akan timbul bencana yang lebih besar, yaitu hilangnya generasi penerus bangsa akibat kekurangan protein. Kekurangan protein, terutama protein hewani, bisa berakibat pada lambannya pertumbuhan badan dan juga tingkat kecerdasan anak-anak. Oleh karena itu, mau tak mau kita harus meningkatkan konsumsi masyarakat terhadap protein hewani. Salah satunya adalah melalui kecukupan tingkat konsumsi daging dengan segala nilai gizi dan nutrisi yang dikandungnya.

 

Dengan berbagai kondisi tersebut, untuk mencukupkan konsumsi daging salah satu hal yang bisa kita lakukan adalah melirik dan mengoptimalkan kembali peternakan rakyat. Ternak-ternak kecil seperti peternakan kelinci, marmut, ayam kampung, dan semacamnya yang dulu pernah menjadi penopang kebutuhan daging di tingkat rumah tangga perlu lebih dioptimalkan. Tidak perlu berpikir jauh untuk kepentingan ekonomi ataupun bisnis, meskipun itu memungkinkan.

 

Oleh: Dr. Hayu Prabowo

Share:
Hayu Susilo Prabowo Prabowo

Inisiator EcoMasjid dan Ketua Lembaga Pemuliaan Lingkungan Hidup dan Sumber Daya Alam MUI