Oleh: Kartini

Jakarta merupakan kota metropolitan yang memiliki jumlah penduduk terbanyak sekaligus aktivitas kesibukannya. Berdasarkan data Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil, Badan Pusat Statistik (BPS), tercatat pada tahun 2019 jumlah penduduk di Jakarta sejumlah 11.063.324 jiwa. Masyarakat Jakarta merupakan masyarakat urban yang sebagian besar aktivitasnya dekat dengan kecanggihan teknologi, sehingga kedekatan masyarakat dengan teknologi menjadi life style. Abertine dalam Journal of Housing and the Built Environment (2009), mengemukakan tentang  gaya hidup masyarakat urban di kota disebabkan oleh fasilitas perkantoran. Fasilitas perkantoran sebagian besar menggunakan kecanggihan teknologi. Begitu juga dengan fasilitas di ruang publik.

Hal yang sama terjadi dengan masyarakat di Jakarta, sebagian besar menggunakan alat transportasi berbahan bakar yang mengeluarkan polusi karbondioksida sangat berpengaruh negatif terhadap keterbatasan udara bersih. Ragam gedung pencakar langit dan silauan cahaya kaca yang menantang matahari pada siang hari, membuat lapisan ozon menipis dan membuat ketidakjelasan iklim, ekosistem di Jakarta juga menjadi tidak stabil. Kota metropolitan tak dapat menghindari perkembangan laju  teknologi, selain membantu segala kemudahan aktivitas yang dituntut serba cepat dalam persaingan ekonomi, kecanggihan teknologi menjadi life style bagi masyarakat yang berada di kota metropolitan seperti Jakarta sebagai bagian dari ciri masyarakat urban.

Namun, dampak teknologi bagi kehidupan kota Jakarta tidak kalah pesat memperburuk kondisi baik lingkungan maupun masyarakat yang berada di Jakarta. Perubahan iklim yang tidak stabil mengakibatkan Jakarta menjadi kawasan rutin bencana banjir pada setiap tahunnya, bahkan wilayah yang tidak terbiasa banjir menjadi banjir. Label metropolitan menjadi tidak ideal dengan tampilan banjir dan kumuh. Begitu juga dengan masyarakat yang mendiami kota Jakarta, secara psikis akan mempengaruhi fisik menjadi tidak sehat. Jakarta sebagai kota pusat  merupakan kekuatan negara yang  tak seharusnya lemah dengan indikasi tersebut.

Jika hal tersebut tidak segera diatasi, maka akan berdampak juga kepada kualitas dan kuantitas tanaman di pedesaan sebagai sumber pokok yang sangat penting bagi kelangsungan hidup masyarakat di kota Jakarta. Belum lagi bencana alam yang bertubi-tubu menghancurkan persawahan, ragam hayati dan nabati, harus dihadapi negara Indonesia. Sebagai negara agraris, Indonesia seharusnya tidak menambah krisis ekonomi dengan mengandalkan impor, yang secara praktis dapat dilakukan secara mandiri oleh bangsa sendiri. Belum terjawab  untuk mengatas dampak tersebut, Indonesia sudah dihadapkan dengan pandemi virus Covid-19 yang sampai saat ini dan belum diketahui kapan berakhirnya. Hal ini membuat meningkatnya penganguran di Indonesia. Bersamaan dengan itu, krisis ekonoi semakin mengancam Indonesia. Sebagai kota penyokong perekonomian, dan representasi negara Indonesia, Jakarta harus diselamatkan

Kekhawatiran tersebut membuat masyarakat Jakarta, baik yang berada di tengah kota yang berdampingan dengan ragam gedung pencakar langit, maupun yang tinggal di pinggiran kota tidak berdiam diri. Wajah Jakarta beberapa tahun terakhir memiliki banyak perubahan, khususnya di pekarangan rumah yang memiliki lahan terbatas. Baik secara individu maupun dengan membentuk kelompok tani yang anggotanya para ibu rumah tangga di perumahan, masyarakat melakukan budidaya tanaman, dengan menanam beragam tanaman baik sayur maupun buah. Apalagi saat pandemi, banyak masyarakat Jakarta semakin produktif menanam beragam tanaman sayur dan buah dengan media dan alat sederhana berupa barang-barang bekas.

Tidak sedikit masyarakat Jakarta menggunakan teknik hidroponik melakukan budidaya tanaman dengan alat sederhana berupa botol air mineral yang terbuat dari plastik dan air jernis, serta olahan tanah yang dicampur dengan limbah rumah tangga. Berdasarkan hasil penelitian Pusat Penelitian Bioteknologi LIPI, teknik hidroponik  menghasilkan tanaman yang menyehatkan dan sangat memiliki prospek yang bagus, khususnya untuk mengatasi krisis pangan dan ekonomi yang melanda tidak hanya di Indonesia, bahkan dunia. Aktivitas budidaya tanaman tersebut merupakan aktivitas alternatif untuk menggantikan pekerjaan sebagian masyarakat Jakarta yang dirumahkan atau kehilangan pekerjaan selama pandemi. Apalagi jika pekarangan atau lahan di rumah agak luas, tanaman yang ditanam dapat beragam dan hasilnya dapat dijual. Selain sebagai hobi baru, budidaya tanaman tersebut dapat menjadi solusi bagi sebagian masyarakat Jakarta yang kehilangan pekerjaan, karena hasilnya dapat dinikmati untuk kebutuhan pangan.

Pekarangan juga  menjadi tampak asri, pekarangan rumah di sudut-sudut Jakarta terasa sejuk. Mampu menjadi paru-paru di tengah kota, pendamping hutan kota dan taman di Jakarta yang jumlahnya tidak terlalu banyak seperti gedung-gedung yang berbaris di sepanjang kota metropolitan. Hal yang tak kalah penting lainnya adalah secara psikis interaksi manusia dengan tanaman dapat mengurangi stres di tengah kekhawatiran krisis ekonomi dan krisis pangan. Realitasnya, selain raga jiwa harus tetap terjaga. Dengan begitu, masyarakat Jakarta tetap mewujudkan rasa syukur terhadap terpaan ujian. Amanah Tuhan untuk menjaga dan merawat bumi tetap dilaksanakan, sehingga ekosistem tetap stabil demi kelangsungan hidup manusia.

Dalam istilah Emile Durkheim budidaya tanaman yang dilakukan kelompok tani yang beranggotakan para ibu rumah tangga merupakan kesadaran kolektif dalam masyarakat perkotaan untuk kesejahteraan bangsa. Ini merupakan langkah awal yang dapat dikembangkan berkelanjutan. Produktivitas yang dilakukan kelompok tani atau kebun yang dilakukan para ibu rumah tangga merupakan kesadaran kolektif untuk menyelamatkan Jakarta dari krisis pangan dan kerusakan lingkungan. Kesadaran masyarakat Jakarta untuk mengatasi krisis. Persatuan secara sadar muncul di tengah permukiman kota. Perannya sebagai manusia memiliki amanah untuk menjaga lingkungan yang telah Tuhan titipkan.

Berdasarkan hal tersebut, Jakarta layak menjadi kota agropolitan dalam menghadapi krisis pangan yang berdampak dari dampak teknologi yang manusia pergunakan dan beragam bencana di Indonesia, tentu akibat ulah manusia juga. Pertanian masa kini tidak harus selalu berada di pedesaan. Dalam hal tersebut, kementerian pertanian diharapkan membuka peluang untuk memberikan apresiasi kepada masyarakat dengan memberikan bantuan berupa teknologi sederhana yang dapat digunakan masyarakat untuk bertani di pekarangan rumah. Tidak dapat dipungkiri budidaya hidroponik mebutuhkan biaya yang cukup banyak , jika ingin mencapai target yang maksimal.Dengan begitu masyarakat metropolitan semakin semangat dan peduli terhadap lingkungan Jakarta, serta mampu dan siap menghadapi krisis pangan tanpa harus melakukan impor.

Share:
admin@ecomasjid.id