Sampah Plastik Meracuni Rantai Makanan Indonesia, yang dilaporkan oleh International Pollutants Elimination Network (IPEN) bulan November ini sedang viral dan banyak dibahas oleh aktivis lingkungan Hidup dan ahli kesehatan masyarakat. Beberapa waktu lalu juga diberitaan 90% garam dapur kita sudah tercemar mikro plastik serta ditemukannya paus yang diduga mati karena mengonsumsi plastik.

Sejatinya sumber daya alam dan lingkungan hidup merupakan penunjang keberlangsungan kehidupan manusia. Seluruh aktivitas ekonomi, baik produksi, konsumsi dan jasa secara langsung dan tidak langsung akan memanfaatkan unsur-unsur sumber daya dan lingkungan hidup dalam kegiatannya. Sumber daya alam (SDA) dan lingkungan hidup juga merupakan modal utama bagi pembangunan.

Pemanfaatan SDA kemudian menjadi tidak terkendali serta mengakibatkan menurunnya kualitas SDA dan fungsi lingkungan hidup karena terjadinya pencemaran atau kerusakan lingkungan dari kegiatan usaha atau proses produksi. Oleh karena itulah, akibat kumulatifnya dapat menimbulkan ketidakadilan bagi masyarakat, yang juga bergantung terhadap kualitas SDA atau lingkungan hidup.

Saat ini masyarakat kita didesak dan terdesak menangani dan menghadapi sampah plastik, namun para produsen sampah yang telah mendapat keuntungan, belum dirasakan melakukan sesuatu atas kemasan plastik mereka yang merusak lingkungan yang saat ini menjadi beban masyarakat.

Menurut pakar ekonomi, John Maddox bahwa pencemaran akan dapat dipecahkan dengan menghitung seluruh biaya yang timbul (harga) dan merupakan masalah ekonomi. Lebih lanjut diuraikan bahwa kita dapat mengurangi polusi jika kita siap membayarnya”, yang dapat dipahami bahwa seberapa besar kemampuan membayar baik dengan program untuk menciptakan alat pencegah pencemaran (anti pollution) maupun secara tidak langsung dengan membayar kerugian yang disebabkan oleh pencemaran. Inilah yang kemudian menjadi latar belakang lahirnya Polluter Pays Principle atau Asas Pencemar Membayar.

Pada UU 18/2008 tentang Pengelolaan Sampah dimana dalam pasal 15 menyatakan “Produsen wajib mengelola kemasan dan/atau barang yang diproduksinya yang tidak dapat atau sulit terurai oleh proses alam”. Dalam Penjelasan Pasal 15 “Yang dimaksud dengan mengelola kemasan berupa penarikan kembali kemasan untuk didaur ulang dan/atau diguna ulang”.  Pasal ini mengindikasikan kewajiban produsen untuk mengubah praktik bisnisnya untuk tetap bertanggung jawab atas disposal produknya ketika masa pakainya telah habis.

Diluar negeri ada gerakan "Environmental Justice" atau Keadilan lingkungan, yaitu perlakuan yang adil dan keterlibatan semua orang tanpa memandang ras, warna kulit, asal kebangsaan, atau pendapatan sehubungan dengan pengembangan, penerapan, dan penegakan hukum, peraturan, dan kebijakan lingkungan.

Dalam tataran normatif, Majelis Ulama Indonesia telah menetapkan Fatwa MUI no. 47/2014 tentang Pengelolaan Sampah Untuk Mencegah Kerusakan Lingkungan. Dalam salah satu ketetapan fatwanya adalah setiap muslim wajib menjaga kebersihan lingkungan, memanfaatkan barang-barang gunaan untuk kemaslahatan serta menghindarkan diri dari berbagai penyakit serta perbuatan tabdzir dan israf. Tabdzir adalah menyia-nyiakan barang/harta yang masih bisa dimanfaatkan menurut ketentuan syar’i ataupun kebiasan umum di masyarakat. Israf adalah tindakan yang berlebih-lebihan, yaitu penggunaan barang/harta melebihi kebutuhannya.

Dalam hal kebijakan keuangan, Otoritas Jasa Keuangan Indonesia (OJK) telah menerbitkan Peraturan OJK mengenai Keuangan Berkelanjutan yaitu POJK Nomor 51/POJK.03/2017 Tentang Penerapan Keuangan Berkelanjutan Bagi lembaga Jasa Keuangan, Emiten, dan Perusahaan Publik. Implementasi kegiatan strategis keuangan berkelanjutan di Indonesia terdiri dari tiga bidang utama: (1) Peningkatan suplai pendanaan ramah lingkungan hidup; (2) Peningkatan demand bagi produk keuangan ramah lingkungan hidup; dan (3) Peningkatan pengawasan dan koordinasi implementasi keuangan berkelanjutan. Penerapan Keuangan Berkelanjutan ini akan menjadikan perbankan syariah yang tidak hanya halal transaksinya namum juga menimbulkan kebaikan seluruh makhluk (halalan thayyiban).

Pandangan dan peraturan-peraturan diatas sangat penting untuk pola pikir produsen dan konsumen untuk memungkinkan keberhasilan bisnis yang dapat menjadikannya momentum untuk menuju ekonomi sirkuler. Sama pentingnya adalah modal investasi yang diperlukan untuk mengubah praktik bisnis. Perubahan pola produksi dan penjualan menimbulkan paradigma bisnis baru yang menyiratkan tantangan besar bagi industri keuangan dan menyarankan perlunya penawaran produk keuangan baru.

 

Urgensi Penerapan Ekonomi Sirkuler

Salah satu pemecahan masalah ketidakadilan diatas adalah menerapkan konsep Ekonomi Sirkuler yang dipandang dapat menguntungkan seluruh pihak. Berbeda dengan pandangan model industri ekstraktif ekonomi linier "ambil, buat, gunakan dan buang", ekonomi sirkuler bersifat restoratif dan regeneratif sejak desain awal produk. Dengan mengandalkan inovasi sistem, ekonomi sirkuler mendefinisikan kembali produk dan layanan untuk merancang limbah produk akhir, serta meminimalkan dampak negatif proses produksinya dengan transisi ke sumber energi terbarukan. Model sirkuler membangun modal ekonomi, lingkungan dan sosial.

Ekonomi sirkuler menyediakan berbagai mekanisme penciptaan nilai yang mengurangi konsumsi sumber daya yang terbatas. Dalam ekonomi sirkuler, sumber daya diregenerasi dalam siklus bio dan dikembalikan dalam siklus teknis melalui perubahan rantai nilai produk yang bersifat restoratif dan regeneratif sejak desain awal produk. Selengkapnya dapat di baca di: https://mui-lplhsda.org/desakan-ekonomi-sirkuler/

Oleh: Dr. Hayu Prabowo

Share:
Hayu Susilo Prabowo Prabowo

Inisiator EcoMasjid dan Ketua Lembaga Pemuliaan Lingkungan Hidup dan Sumber Daya Alam MUI